13.11.09

Kecerdasan untuk Membangun Mental Anak

Faktor penentu keberhasilan seseorang bertambah lagi. Kalau dulu kita hanya mengenal IQ dan seiring berjalannya waktu ditemukan faktor lain seperti Kecerdasan Emosi (EQ) lalu kecerdasan spiritual (SQ), sekarang yang tak kalah penting adalah adversity quotient (AQ) atau suatu metode untuk meningkatkan kemampuan orang menghadapi kesulitan atau hambatan dan memacu keberhasilan.


Apapun istilahnya, hendaknya setiap orang tua memberikan stimulus, rangsangan, agar anak mempunyai AQ. Sehingga saat anak berhadapan dengan hambatan atau kesulitan tak langsung menyerah. Pola asuh orangtua yang memberikan kemudahan/fasilitas, serba membantu dan menyiapkan, anak tak dibiarkan melakukan segala kegiatannya sendiri, secara tak langsung mengajarkan ketergantungan pada anak. Anak juga akan mudah menyerah jika menghadapi kesulitan lantaran tak terbiasa memecahkan masalah.

Padahal jika anak dilatih bagaimana caranya menghadapi kesulitan, maka akan terbangun mentalitas anak yang kuat, yakni tidak cengeng, tidak menyerah menghadapi kesulitan. Misal yang sederhana ketika anak belajar jalan ia jatuh, ayah/ibu membiarkan dan sekedar merespon memotivasi anak,"ah jatuuh, ayo bangun lagi anak ibu yang berani," maka anak cenderung berusaha bangkit dan jalan lagi tanpa menangis. Ingat-ingat, bagaimana jika ayah/ibu buru-buru menolong dan merayu-rayu anak supaya tak menangis, anak justru cenderung menangis karena merasa dengan menangis ibu/ayahnya tak kan melepaskannya lagi. Contoh lainnya adalah memberi kesempatan anak untuk mencoba, dan mengajarkan kemandirian pada anak sejak usia dini.

Agar AQ anak berkembang memang sebaiknya orang tua menjadi model. Orangtua menjadi contoh bagaimana bentuk dari kecerdasan mental ini, yakni orangtua menunjukkan sifat tidak mudah menyerah jika menghadapi kesulitan dan tidak cengeng (misal, tidak suka mengeluh di depan anak), tidak serba membantu anak (misal selalu menyuapi anak dengan alasan berantakan dan kotor), dsb.

Kecerdasan ini bisa terus dibangun dan ditingkatkan pada anak. Pengembangannya bergantung pada masing-masing anak. Sejauh ini belum terlihat dampak negatif pengembangan kecerdasan ini. Namun harus diperhatikan juga kapasitas diri anak. Kalau upaya untuk membangun kemampuan mental anak ini tak mengukur kemampuan diri akan membuat anak frustrasi. Penulis: Dra. Rose Mini AP. MpSi

Bermental Baja = Kecerdasan Adversitas

Ada banyak faktor yang menentukan kesuksesan. Salah satu faktor penentu yakni Adversity Quotient (AQ), dalam bahasa sederhananya bisa diartikan sebagai kecerdasan mental. Dibilang kecerdasan mental lantaran dalam hidup manusia pasti akan menghadapi hambatan, kesulitan bahkan mungkin kegagalan. Jika seseorang memiliki mental kuat, ia menjadi tahan banting, tak mudah frustasi dan menyerah, tetapi bangkit lagi dan berusaha mengatasi kesulitan yang dihadapinya.
Paul G. Stoltz Phd, konsultan bisnis yang sudah dikenal secara internasional, penulis buku Adversity Quotient "Mengubah Hambatan menjadi Peluang" meyakini, bahwa faktor ini lebih signifikan daripada IQ, pendidikan, atau keterampilan sosial. Kemampuan seseorang dalam mengatasi kesulitan diukur dengan AQ.

Apa sebenarnya AQ? Menurut Paul yang juga president of peak learning incorporated dan meraih gelar doktor dalam bidang komunikasi dan pengembangan organisasi, adalah seperangkat instrumen untuk membantu seseorang agar tetap gigih melalui saat-saat yang penuh tantangan. Apalagi tantangan saat ini dan yang akan datang (yang akan dihadapi anak-anak kita ketika dewasa nanti) tentu akan lebih besar dan membutuhkan kemampuan dan mental yang kuat atau tahan banting (hardiness).

Orang yang tahan banting kata Paul, tidak akan terlalu menderita terhadap akibat negatif yang berasal dari kesulitan. Kemampuan ini kata Paul harus dibangun sejak seseorang masih kanak-kanak. Sayangnya, sejumlah penelitian yang dilakukan Seligman, Dweck, dan lainnya, justru menunjukkan bahwa sikap tak berdaya telah diajarkan pada anak-anak sejak dini. Ibu/ayah yang melakukan semuanya untuk putrinya secara tidak sengaja telah mengajarkan ketidakberdayaan dengan tidak pernah membiarkan putrinya menghadapi tantangan-tantangannya sendiri. Seorang guru yang mengajarkan pada murid perempuan bahwa mereka gagal karena tidak memiliki kemampuan alias bodoh, dan mengatakan pada murid laki-laki, mereka gagal karena tidak memiliki motivasi. Padahal itu alasan sementara dan bisa berubah.

Pola asuh dan pola didik yang mengajarkan ketakberdayaan itu kata Paul bisa diputus dan diubah secara tetap dengan cara-cara yang dapat membangun kekuatan mental dan daya juang anak. Di antara caranya adalah; dengan mengajarkan keberdayaan sejak masih usia dini; dalam menjelaskan segala sesuatu orangtua harus selalu optimis bukan pesimis. Akibatnya di masa anak dewasa menurut Paul adalah, dapat meningkatkan kinerja, produktivitas, energi, motivasi, kemauan untuk belajar, kreativitas, keberanian mengambil risiko, kesehatan, keuletan dan ketekunan. Nah, siapa yang tak mau anak kita memiliki kemampuan demikian? (Mira Nurhayati/Dew)

Kiat Membangun Mental Baja

Untuk membangun mental yang kuat dan tahan banting, beberapa hal ini patut dicoba:

1. Mengembangkan Panca Indra
Kesulitan ada di mana pun. Ketika anak masih kecil, ia mengalami berbagai kesulitan. Ada temannya yang suka mengejeknya atau bahkan memukulnya, jatuh dari tangga, dicakar kucing kesayangannya, kesulitan dalam pelajaran, dimarahi guru, ingin memiliki mainan tertentu tapi Anda tak membelikannya, dsb.

Kesulitan-kesulitan itu bukan tak ada jalan keluarnya. Anda bisa mengasah panca indranya untuk tajam melihat kesulitan yang mungkin menghadangnya. Misalnya, minta anak memperhatikan teman-temannya yang usil atau nakal terhadapnya dan mengamati kapan biasanya ia mulai usil. Atau, jika dimarahi guru karena tak membuat PR, maka ingatkan anak untuk selalu mengerjakan PR-nya, jika tak mengerjakannya, ia harus punya jawaban mengapa ia tak mengerjakannya dan siap dengan konsekuensinya. Ingin memiliki benda tertentu? Mintalah ia berpikir bagaimana mendapatkannya. Secara tak langsung Anda mengasah indra anak untuk siap menghadapi kesulitan.

2. Mendukung eksplorasi Anak
Anak-anak, terutama balita, berada dalam masa eksplorasi, ingin menjajaki segala sesuatu yang menarik perhatiannya. Misal, menarik buntut kucing yang lewat di depannya, berusaha naik tangga yang tersandar di dinding rumah, atau main pisau seakan sebuah sendok layaknya.

Bagaimana menghadapi kelasakan anak yang adakalanya berbahaya? Melarangnya, mengecam, mengkritik jika berbahaya atau anak gagal melakukannya? Cara tersebut menurut Paul G. Stoltz bisa menimbulkan rasa bersalah yang produktif maupun yang tidak produktif. Jika respon Anda baik, akan timbul rasa bersalah yang produktif, yakni anak bisa menerimanya, berusaha lebih baik, bahkan membentuk integritas dan mentalnya. Sedangkan respon negatif--kritik, kecaman misalnya-- melahirkan rasa bersalah yang tidak produktif. Anak bisa tidak mau berusaha lagi.

3. Latihan Menganalisa: Mengapa Gagal?
Daripada mengecamnya lebih baik latihlah anak untuk menganalisa mengapa ia mengalami kegagalan? Misal, tidak mau maju di depan kelas untuk menyanyi; tidak bisa membuat untaian manik; menakali temannya; atau tidak mengerjakan PR nya. Mengapa demikian? Dari jawaban anak Anda bisa mengajaknya mencari jalan keluar dari masalahnya.
4. Motivasi: Kamu Bisa!

Paul menengarai bahwa pola asuh orangtua kerap menghambat perkembangan anak. Seperti pengasuhan yang serba melayani kebutuhan anak yang membuat anak terbiasa tak berdaya. Di dunia sekolah juga demikian. Banyak guru yang kurang mampu memotivasi anak didiknya dan memberi label negatif "Kamu tidak mampu," "bodoh," dsb. Cobalah ganti gaya pengasuhan Anda, beri anak motivasi untuk melakukan segala sesuatunya sendiri. Bahwa ia bisa, ia punya kekuatan untuk bisa. Jika gagal sekali misalnya, doronglah untuk mencobanya lagi dan lagi.

5. Harus ada Bukti dari Kegagalan
Anak-anak senang bilang, "aku nggak bisa. Mama saja deh yang melakukan." jangan terpancing rengekan anak. Tegaskan bahwa ia harus membuktikan kalau ia tidak bisa atau ia bisa. Anda bisa lengkapi permintaan Anda dengan bukti bahwa anak-anak yang dilahirkan cacat (tanpa tangan kaki misalnya) ternyata bisa menulis, makan, atau melakukan kegiatan lain yang dilakukannya sendiri.

6. Selalu optimis
Paul meyakini bahwa sikap optimis akan melahirkan orang yang tahan banting. Sikap optimis akan memberinya kesehatan fisik dan mental dalam menghadapi berbagai kesulitan. Karena itu, ajarkan anak untuk selalu optimis dalam semua aktivitasnya maupun keinginan-keinginannya. (Dew/Berbagai sumber)

Sumber: Tabloid Ibu Anak

0 komentar:

Posting Komentar